Forum Aceh Bersatu Respon Pernyataan Abu Kutaraja Tentang Illiza, Kalau Takut Allah Maunya Tidak Calon Walikota Karena Melanggar Ayat Al-quran
BANDA ACEH: Pernyataan Abu Kutaraja yang menyebut Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai pemimpin yang takut kepada Allah mendapat respon keras dari Ketua Forum Aceh Bersatu, Saiful Mulki. Menurut Saiful, pernyataan tersebut perlu dikaji kembali, terutama terkait pemahaman mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam.
Saiful Mulki menegaskan bahwa Abu Kutaraja seolah mendukung kepemimpinan perempuan dalam Islam, yang menurutnya bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. “Pernyataan seperti itu justru berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat. Kepemimpinan perempuan dalam Islam, khususnya menjadi kepala daerah, harus ditinjau dengan lebih hati-hati, karena berbagai ulama telah menjelaskan batasan-batasannya,” ujarnya.
Ia kemudian merujuk pada pandangan ulama karismatik Aceh, Abu Mudi Samalanga, yang dengan tegas menyatakan bahwa perempuan diharamkan menjadi pemimpin dalam Al-Quran. “Abu Mudi menyebutkan dalam penjelasannya bahwa ‘Arrijalun kawwamuna ‘alannisa’ adalah perintah yang jelas dalam Al-Quran. Pemimpin itu adalah laki-laki yang berakal dan sehat, dan perempuan tidak termasuk dalam kategori ini sebagai pemimpin,” tambah Saiful Mulki.
Pandangan tersebut juga diperkuat dengan penjelasan dari Abu Mudi bahwa seorang perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin sudah melakukan perbuatan yang tidak sah secara hukum agama. “Perempuan yang mencalonkan diri itu sudah dihitung melakukan dosa. Apalagi jika dia dipilih, maka orang yang memilih juga ikut berdosa, dan yang melantik pun ikut menanggung dosa,” kata Abu Mudi dalam penjelasannya yang dikutip oleh Saiful.
Saiful kemudian mempertanyakan pernyataan Abu Kutaraja yang menyebut Illiza sebagai pemimpin yang takut kepada Allah. “Jika memang takut kepada Allah, maka mestinya Illiza tidak mencalonkan diri sebagai wali kota karena itu bertentangan dengan ajaran agama dan hukum Islam yang telah jelas diatur,” kritiknya.
Meskipun begitu, Saiful menegaskan bahwa perdebatan ini tidak bermaksud menjatuhkan pihak tertentu, melainkan lebih kepada mengingatkan pentingnya menempatkan hukum agama di atas kepentingan politik. “Pernyataan ini bukan untuk memojokkan siapa pun. Kita hanya ingin mengingatkan bahwa hukum agama harus menjadi pedoman utama, terutama dalam hal kepemimpinan,” ujarnya.
Saiful juga menyarankan agar para ulama dan tokoh masyarakat Aceh memberikan bimbingan lebih lanjut mengenai isu ini. Ia berharap masyarakat tidak hanya terpaku pada pandangan yang mendukung, tetapi juga mendalami ajaran agama Islam terkait kepemimpinan perempuan.
Di sisi lain, Saiful juga mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh pernyataan-pernyataan yang cenderung memicu polemik. Menurutnya, diskusi mengenai kepemimpinan perempuan harus dilakukan secara bijaksana, dengan tetap menghormati pendapat yang berbeda-beda.
Ia pun menutup dengan menegaskan bahwa dalam konteks Aceh yang memiliki kekhususan dalam penerapan syariat Islam, kepemimpinan perempuan harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan berdasarkan hukum syariah. “Kita memiliki UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) yang memberikan kekhususan dalam pelaksanaan syariat Islam. Oleh karena itu, sebaiknya kita menjadikan syariat sebagai pedoman utama dalam menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin,” tutupnya.
Dengan berbagai pandangan yang telah disampaikan, perdebatan mengenai kepemimpinan perempuan di Banda Aceh tampaknya akan terus berlanjut. Masyarakat Banda Aceh diharapkan dapat menyikapi persoalan ini dengan bijak dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam setiap keputusan politik yang diambil.(H)